Koteka, Pakaian Tradisional Dari Daratan Papua
Suku-suku di Papua memiliki banyak hal-hal unik, seperti
adat-istiadat, bahasa, kuliner, hingga pakaian. Salah satu pakaian yang
paling menggambarkan kebudayaan Papua secara umum adalah Koteka. Koteka
adalah pakaian untuk menutup kemaluan pria dalam kebudayaan asli Papua.
Secara harfiah, koteka sendiri bermakna pakaian yang berasal dari bahasa
Mee. Suku Dani yang menempati daerah Bukit Balliem, Wamena, Jayawijaya,
menyebut pakaian tradisional ini Horim/Holim. Sedangkan suku-suku di
daerah lain di Papua memiliki sebutan tersendiri untuk koteka. Namun
yang paling familiar adalah koteka.
Koteka terbuat dari tumbuhan yang buahnya mirip seperti mentimun
dengan bentuk yang agak panjang. lebih tepatnya koteka terbuat dari
kulit buah labu-labuan yang berbentuk panjang dan berkulit keras, dan
mempunyai nama latin Lagenaria Sicecaria. Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobbe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah.
Proses
pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian
dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api
yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan
mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas
bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga
kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai
sebagai koteka.
Ukuran koteka biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna yang akan
bekerja atau melakukan upacara adat. Suku-suku di Papua bisa dikenali
dengan cara mereka menggunakan koteka. Banyak suku-suku di sana yang
dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Suku Yali misalnya,
menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai
dua labu. Biasanya koteka yang pendek digunakan saat bekerja, sedangkan
koteka dengan ukuran yang lebih panjang biasa digunakan sebagai
hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari.
Koteka dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah.
Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Di beberapa kawasan pegunungan, seperti Wamena, koteka masih dipakai.
Untuk berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong
beberapa puluh ribu rupiah.
Meskipun di era modern ini kotek atelah beralih fungsi, namun koteka
tetap menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia yang harus dijaga dan
dilestarikan. Dengan menjaga aset budaya yang ada di Indonesia sama
artinya kita menjaga nilai-nilai luhur yang tidak akan hilang meski ada
di era modern. (Hikari/ensiklopediaindonesia.com) (Foto: realifactpost.com; iveecharismanta.blogspot.com)
0 komentar:
Posting Komentar