Penyangkalan pemerintah di sesi UPR PBB sangat mengecewakan
AHRC
- (Hong Kong/Geneva/Jakarta 23 Mei 2012) Hari ini, rekam jejak
penegakan hak asasi manusia (HAM) Indonesia dievaluasi oleh Dewan HAM
PBB dalam sesi ke-13 Universal Periodic Review di Jenewa, Swiss.
Beberapa
isu kunci seperti perlindungan atas kebebasan beragama dan situasi hak
asasi manusia di Papua diangkat oleh banyak negara-negara anggota PBB
yang berpartisipasi di dalam sesi tersebut. “Respon pemerintah
Indonesia terhadap masalah dan pelanggaran HAM yang dibahas pada saat
evaluasi tersebut sangat mengecewakan, karena pemerintah Indonesia
menyangkal masalah-masalah tersebut dan gagal menunjukkan rasa hormat
pemerintah terhadap hak-hak korban,” ujar Wong Kai Shing, Direktur
Eksekutif Asian Human Rights Commission (AHRC).
AHRC beserta
organisasi saudaranya, Asian Legal Resource Centre (ALRC) mengirimkan
laporan ke proses evaluasi tersebut dan membuat rekomendasi terkait
beberapa masalah kunci hak asasi manusia, termasuk: kebutuhan
kriminalisasi penyiksaan; reformasi institusional yang dibutuhkan untuk
melawan impunitas, termasuk terhadap sistem peradilan militer;
diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas dan situasi
hak asasi manusia di provinsi-provinsi Papua, khususnya pelanggaran
yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia tanpa adanya proses hukum.
Versi utuh laporan ini dapat diunduh di http://www.alrc.net/doc/mainfile.php/upr/
Banyak hal yang menjadi fokus perhatian AHRC dan ALRC juga diangkat
oleh negara-negara yang berpartisipasi di dalam sesi UPR tersebut.
Swedia, Jerman dan Swiss, misalnya mengekspresikan perhatian mereka
terhadap serangan dan intimidasi terhadap kelompok agama minoritas di
Indonesia seperti Ahmadiyah, kelompok Kristiani, Syiah dan Baha’i.
Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan tegas
terhadap mereka yang mengintimidasi dan menyerang kelompok agama
minoritas tersebut dan meminta pemerintah untuk mencabut
peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif.
Walau mengakui
adanya kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok agama minoritas,
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menjadi pemimpin delegasi
Indonesia menyangkal bahwa pemerintah tidak melindungi apapun untuk
melindungi dan menghormati kebebasan beragama. “Pemerintah Indonesia
menghormati semua agama” ujarnya meski ada banyak hukum diskriminatif
berlaku di Indonesia. Sejumlah negara, termasuk Perancis, Jepang dan
Selandia Baru, mengangkat masalah terkait situasi di Papua yang meliputi
kekerasan yang meluas, penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang,
serta pembatasan tidak sah terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Perancis secara spesifik mendesak dibukanya akses jurnalis asing ke
Papua sementara Amerika Serikat dan Jerman mengangkat masalah pasal 106
dan 110 KUHP yang digunakan untuk menghukum aktivis-aktivis di Papua.
Natalegawa mengklaim bahwa semua pelaku pelanggaran HAM di Papua sudah
diproses dalam ‘pengadilan yang transparan dan terbuka’. Akan tetapi,
AHRC dan kelompok HAM lainnya telah mendokumetasikan kasus penyiksaan
dan kekerasan yang belum mendapatkan respon cukup dari pemerintah
Indonesia, atau respon yang berdampak pada penghukuman terhadap mereka
yang bertanggung jawab.
Malahan, budaya impunitas yang masih
dipelihara di negara ini. “Penyangkalan terhadap masalah impunitas di
provinsi-provinsi Papua sangat tidak bertanggung jawab,” ujar Wong Kai
Shing. “Respon yang mengecewakan dari pemerintah Indonesia merupakan
suatu kemunduran bagi mereka yang mengharapkan perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia yang lebih besar di Indonesia,” ia
menyimpulkan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi Answer Styannes +62 8811 567 418 (bahasa Inggris dan Indonesia) answer.styannes@ahrc.asia
0 komentar:
Posting Komentar